Top Menu

Ketika Rusia Provokasi Yunani untuk Pisah dari Ottoman


Ketika membicarakan kemerdekaan Yunani dari Kekaisaran Utsmaniyah (Ottoman), banyak sejarawan menyinggung peran tersembunyi Rusia yang sejak awal mencoba menanamkan bibit pemberontakan. Akar peristiwa itu dapat ditelusuri jauh sebelum Revolusi Yunani 1821, yakni pada masa perang Utsmaniyah-Rusia 1768–1774. Dalam periode itulah Rusia untuk pertama kalinya memperlihatkan strategi memecah belah kekuasaan Utsmaniyah, termasuk dengan cara mendorong kelompok-kelompok di Yunani untuk memberontak.

Latar belakangnya bermula dari meletusnya Perang Utsmaniyah-Rusia. Rusia, di bawah kekuasaan Catherine II, berupaya menembus dominasi Utsmaniyah di Laut Hitam dan Laut Tengah. Armada Rusia menorehkan kemenangan besar dalam Pertempuran Chesme tahun 1770. Kemenangan ini bukan hanya pukulan telak bagi angkatan laut Utsmaniyah, tetapi juga membuka jalan bagi Rusia untuk mengincar pengaruh di kawasan Balkan dan Laut Aegea.

Pada saat yang sama, Mesir bergolak di bawah pimpinan Ali Bey al-Kabir, seorang pemimpin Mamluk keturunan Georgia yang menentang Utsmaniyah. Ali Bey sempat berhasil merebut Damaskus dengan bantuan sekutunya, Zahir al-Umar, sebelum akhirnya dihancurkan oleh pengkhianatan tangan kanannya sendiri. Rusia melihat kekacauan itu sebagai peluang emas untuk ikut masuk dalam percaturan politik Timur Tengah.

Meski Ali Bey runtuh, armada Rusia tidak berhenti bergerak. Pada tahun 1772 dan 1773, mereka melakukan serangan besar di Levant, termasuk membombardir dan menduduki Beirut. Inilah satu-satunya kasus dalam sejarah di mana Rusia menghancurkan serta menduduki sebuah ibu kota Arab. Fakta ini sering terlupakan, namun sangat penting karena memperlihatkan betapa seriusnya Rusia dalam melemahkan posisi Utsmaniyah di jantung wilayah Arab.

Bagi Rusia, intervensi di Beirut bukan sekadar soal militer. Mereka menjalin aliansi dengan tokoh lokal seperti Zahir al-Umar dan Yusuf al-Shihabi, memanfaatkan ketegangan internal untuk memperluas pengaruh. Model inilah yang kelak mereka terapkan pula di Balkan mengobok-obok urusan internal Ottoman/Utsmaniyah, khususnya terhadap komunitas Yunani.

Armada Rusia yang singgah di Laut Aegea pada masa perang tersebut diketahui mendorong komunitas Yunani untuk bangkit melawan. Dorongan itu tidak serta-merta melahirkan kemerdekaan, namun menanamkan harapan bahwa kekuatan besar di utara siap mendukung aspirasi kebebasan Yunani. Dengan kata lain, provokasi awal Rusia terhadap Yunani dimulai dari fase inilah.

Meskipun pemberontakan Yunani tidak terjadi langsung pada 1770-an, semangat perlawanan mulai menyebar. Rusia sengaja menyebarkan propaganda bahwa Utsmaniyah sedang lemah dan terdesak, sehingga membuka peluang pemberontakan. Hal ini sejalan dengan strategi besar Rusia yang ingin intervensi politik dalam negeri Istanbul dengan mengobarkan sektarianisme Kristen Ortodoks di bawah kekuasaan Utsmaniyah.

Ketika Ali Bey jatuh pada 1773, Rusia gagal mendapatkan sekutu kuat di Mesir. Namun intervensi mereka di Beirut dan Laut Aegea memberikan preseden baru: Rusia bersedia mengintervensi kawasan jauh dari perbatasan mereka demi mengguncang stabilitas Utsmaniyah. Bagi orang Yunani, peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa dukungan asing mungkin menentukan masa depan mereka.

Perang Utsmaniyah-Rusia berakhir dengan Perjanjian Küçük Kaynarca tahun 1774. Perjanjian ini memberi Rusia sejumlah keuntungan besar, termasuk hak menghancurkan Utsmaniyah dari dalam menggunakan tangan separatisme Kristen Ortodoks. Secara tidak langsung, pasal ini kelak dijadikan pembenaran bagi Rusia untuk orang Yunani merdeka dari Utsmaniyah.

Sementara itu, di Yunani sendiri, api pemberontakan mulai menyala perlahan. Rusia kerap mengirim sinyal dukungan, meski belum diikuti langkah militer nyata. Namun pesan politik yang ditangkap masyarakat Yunani jelas: mereka punya pelindung kuat di Eropa Timur.

Pada awal abad ke-19, ketika ketegangan sosial-ekonomi di Yunani memuncak, benih-benih provokasi Rusia di abad sebelumnya kembali dipetik. Rusia secara konsisten menyuarakan kepentingan Ortodoks dan membangun citra sebagai pembela bangsa Yunani. Propaganda ini semakin menyemangati kelompok Filiki Eteria, organisasi rahasia yang memicu Revolusi Yunani tahun 1821.

Fakta pentingnya adalah, tanpa intervensi awal Rusia di tahun 1770-an, semangat Yunani untuk melawan mungkin tidak tumbuh sedemikian cepat. Kehadiran armada Rusia di perairan Yunani pada masa perang dengan Utsmaniyah menjadi bukti nyata bahwa ada kekuatan besar yang bersedia menggoyang status quo.

Beirut mungkin menjadi contoh paling nyata bagaimana Rusia tidak segan menghancurkan sebuah kota demi memperlemah Utsmaniyah. Namun bagi Yunani, dampak dari intervensi itu lebih bersifat psikologis: keyakinan bahwa penjajahan bisa digugat dengan bantuan eksternal.

Ketika Revolusi Yunani akhirnya meletus pada 1821, Rusia sudah menyiapkan landasan politik sejak lama. Intervensi diplomatik dan militer di kemudian hari, termasuk Perang Kemerdekaan Yunani yang melibatkan Inggris dan Prancis, membuktikan bahwa benih provokasi yang ditanam sejak abad ke-18 memang menghasilkan buah.

Rusia pun berhasil menampilkan dirinya sebagai kekuatan pelindung Ortodoks. Posisi ini tidak hanya memperkuat pengaruhnya di Balkan, tetapi juga membuat Utsmaniyah semakin terdesak di kawasan Eropa Tenggara.

Dengan demikian, asal mula provokasi Rusia terhadap kemerdekaan Yunani tidak bisa dipisahkan dari Perang Utsmaniyah-Rusia 1768–1774. Dari Beirut hingga Laut Aegea, Rusia memperlihatkan pola intervensi yang menghubungkan kepentingan militer, politik, dan agama.

Meski Yunani baru merdeka pada 1832 melalui Perjanjian Konstantinopel, akarnya jelas berawal dari strategi Rusia di abad ke-18. Sejarah ini menunjukkan bagaimana sebuah kekuatan besar mampu mengubah arah perlawanan bangsa lain dengan campur tangan yang cerdik.

Provokasi Rusia terhadap Yunani tidak pernah bersifat kebetulan, melainkan hasil dari rencana panjang untuk meruntuhkan dominasi Utsmaniyah. Dan Beirut, kota yang hancur di bawah bombardir Rusia, menjadi saksi awal strategi besar itu. Strategi merongrong negara lain itu menggunakan tangan dari dalam inilah yang terjadi Suriah sekarang, di mana Isral dan AS menggunakan Druze dan Kurdi menggoyang Damaskus dalam pemerintahan Suriah yang baru; Presiden Ahmed Al Sharaa.

Kini, ketika menengok kembali perjalanan sejarah, jelas bahwa kemerdekaan Yunani bukan hanya buah dari perjuangan internal, tetapi juga dari permainan geopolitik Rusia yang sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya.

Posting Komentar

Copyright © Idaman 2024. Designed by OddThemes & SEO Wordpress Themes 2018