Top Menu

PM Sudan Baru Diminta Utamakan Dialog Nasional Damai


Perdana Menteri baru Sudan, Kamil Idris, menghadapi tekanan keras dari berbagai kekuatan politik di negaranya setelah pidatonya yang dinilai menutup ruang dialog. Hampir sebulan usai pelantikannya di Port Sudan, Idris belum juga membentuk kabinet akibat tarik ulur kepentingan antar faksi militer yang masih mendominasi panggung politik Sudan. Situasi ini memperpanjang kekosongan pemerintahan di tengah konflik bersenjata yang terus mengoyak negara tersebut.

Dalam pidato awal bulan ini, Idris menyatakan niat membentuk pemerintahan teknokrat tanpa keterlibatan partai politik. Pernyataan itu segera menuai kecaman karena dianggap mencederai semangat rekonsiliasi nasional yang selama ini diperjuangkan berbagai kelompok sipil. Banyak pihak menilai langkah tersebut justru berpotensi memperlebar jurang perpecahan politik di Sudan.

Omar el-Degeir, pemimpin koalisi sipil Sommoud (Ketahanan), menyebut pidato Idris seperti dibuat untuk negara lain yang tidak sedang dilanda perang. Menurutnya, membentuk kabinet teknokrat tanpa partisipasi politik di saat negara mengalami kehancuran institusi dan perang saudara adalah langkah keliru yang dapat memperburuk situasi. Ia menegaskan bahwa pemulihan Sudan butuh dialog inklusif, bukan pengucilan politik.

Degeir menilai rencana Idris justru memberi ruang lebih luas bagi kelompok bersenjata ketimbang kekuatan sipil yang telah lama memperjuangkan pemerintahan demokratis. Ketidakkonsistenan Idris terlihat saat ia tetap berpegang pada perjanjian damai Juba 2020, yang menetapkan 25 persen kursi kabinet untuk kelompok bersenjata, meski di sisi lain menolak sistem bagi-bagi kekuasaan berbasis politik.

Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan politisi dan pegiat perdamaian di Sudan. Idris dianggap tidak memiliki peta jalan yang jelas untuk membawa Sudan keluar dari konflik berkepanjangan. Pidato yang seharusnya menenangkan, justru memicu perdebatan baru tentang siapa yang layak memegang peran dalam pemerintahan transisi.

Beberapa kelompok bersenjata yang tergabung dalam perjanjian Juba bahkan mengancam akan mundur dari kesepakatan damai bila jatah mereka di kabinet dikurangi. Mutasim Ahmed Saleh dari Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (JEM) menuding kubu Idris sengaja melemahkan perjanjian tersebut demi kepentingan politik tertentu, khususnya terkait distribusi kekuasaan di Darfur.

Saleh menekankan bahwa perjanjian damai bukan sekadar soal pembagian kursi, tetapi hasil perjuangan panjang rakyat Sudan di daerah-daerah terpinggirkan. Ia memperingatkan bahwa langkah sepihak pemerintah akan memicu instabilitas baru di wilayah-wilayah rawan konflik yang selama ini hanya merasakan janji kosong dari pemerintah pusat.

Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan politik Sudan pasca kudeta dan pecahnya perang saudara antara militer reguler dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Sejauh ini, belum ada tanda-tanda rekonsiliasi antara kedua kubu, sementara rakyat sipil terus menjadi korban kekerasan dan pengungsian massal.

Pakar politik Afrika Timur menyarankan agar Idris tidak memaksakan model teknokrat murni di tengah situasi perang. Menurut mereka, dialog multipihak yang mencakup kekuatan politik sipil, kelompok bersenjata, dan pemerintah paralel buatan RSF lebih realistis untuk membuka jalan rekonsiliasi nasional. Model dialog inklusif dinilai lebih sesuai untuk meredakan ketegangan dan memulai proses rekonstruksi.

Tanpa dialog yang merangkul semua pihak, Sudan dikhawatirkan akan terjebak dalam siklus konflik baru. Terlebih, RSF yang menguasai sebagian wilayah barat negeri itu telah membentuk struktur pemerintahan tandingan yang bisa menjadi ancaman serius bagi pemerintah Idris. Tanpa jembatan komunikasi, benturan kekuasaan diprediksi akan makin brutal.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sudan dan diaspora internasional juga menyerukan agar Idris membuka ruang dialog dengan kekuatan politik lama dan baru. Mereka menyebut bahwa pembentukan kabinet tanpa konsensus politik hanya akan memperpanjang masa transisi dan menunda agenda pemilu demokratis yang telah lama ditunggu rakyat Sudan.

Di sisi lain, beberapa analis memandang Idris harus lebih cermat membaca situasi geopolitik regional. Ketegangan di kawasan Sahel dan keterlibatan kekuatan asing di konflik Sudan menuntut pemerintahan baru bersikap hati-hati. Tanpa dialog nasional, Sudan bisa kembali menjadi ajang proksi negara-negara regional yang berebut pengaruh.

Idris diharapkan belajar dari kegagalan pemerintahan transisi sebelumnya yang terjebak dalam pola eksklusif dan elitisme militer. Proses rekonstruksi Sudan tak mungkin berhasil bila hanya mengandalkan kekuatan senjata atau technocrat semata. Dialog inklusif yang melibatkan semua kekuatan politik, kelompok bersenjata, komunitas lokal, dan diaspora adalah kunci.

Masyarakat internasional, terutama Uni Afrika dan PBB, didesak untuk memfasilitasi dialog nasional tersebut. Sudan membutuhkan mediator netral yang dapat mempertemukan pihak-pihak bertikai dan menjembatani perbedaan. Tanpa peran aktif komunitas internasional, upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi dikhawatirkan mandek di tengah jalan.

Sementara itu, situasi kemanusiaan di Sudan terus memburuk. Jutaan orang masih mengungsi dan akses bantuan kemanusiaan terhambat oleh blokade wilayah konflik. Pemerintah Idris dituntut segera memprioritaskan penanganan krisis kemanusiaan dan pemulihan infrastruktur dasar sebelum bicara soal model pemerintahan jangka panjang.

Kondisi ini memerlukan keputusan strategis dari Idris: apakah tetap bersikukuh dengan kabinet teknokrat tanpa partisipasi politik atau beralih ke model transisi inklusif dengan dialog multipihak. Sejarah Sudan membuktikan bahwa eksklusi politik hanya memperpanjang konflik. Dialog dan kompromi masih menjadi pilihan paling masuk akal.

Ke depan, Idris harus mampu memanfaatkan momentum ini untuk membangun fondasi perdamaian yang kuat. Pemerintahannya diharapkan bisa menjadi jembatan antara kekuatan sipil, militer, dan kelompok bersenjata agar Sudan bisa keluar dari pusaran konflik berdarah yang telah menghancurkan negara itu selama bertahun-tahun.


Posting Komentar

Copyright © Idaman 2024. Designed by OddThemes & SEO Wordpress Themes 2018